Perjuangan Skripsi di Teknik Geologi ITB


Tahun terakhir. Tahun keempat. Tahun penutup. 

Jika saya harus menggambarkan tahun terakhir ini dengan satu kata, mungkin akan saya pilih kata "perpisahan". Bukan hanya karena saya akan meninggalkan teman-teman atau kampus tercinta, tapi juga karena ini adalah tahun di mana saya harus belajar melepaskan semua ketakutan dan kegelisahan yang dulu saya rasakan. Tahun ini mengajarkan saya tentang pentingnya menerima, menyelesaikan, dan melangkah maju. Semua yang saya hadapi di kampus, baik suka maupun duka, bertemu titik akhir di sini.

Tahun terakhir di ITB bukan hanya tentang menyelesaikan tugas akhir, tetapi juga tentang refleksi diri, mengenali batasan, dan menemukan tujuan hidup yang lebih besar. Dari sinilah saya belajar bahwa kelulusan bukan hanya tentang memakai toga, tetapi tentang apa yang kita bawa saat keluar dari kampus ini, baik itu pengetahuan, keterampilan, maupun mentalitas yang lebih matang.


Kuliah Tingkat Akhir: Sepi Tapi Penuh Proses

Di tahun keempat, hidup saya berubah. Kehidupan akademik tidak sesibuk sebelumnya, saya hanya mengambil mata kuliah tugas akhir. Tidak ada lagi praktikum yang membingungkan atau tugas kelompok yang harus diselesaikan dalam semalam. Seiring berkurangnya jadwal kuliah, saya mulai merasa sepi, sepi dari rutinitas harian yang sudah terbiasa saya jalani selama tiga tahun sebelumnya. Saya merasa seperti sedang berada di ujung terowongan yang gelap, tanpa tahu kapan terangnya akan datang.

Namun, di balik kesepian itu, saya justru menemukan ruang yang lebih besar untuk berkembang. Tanpa adanya jadwal kuliah yang mengikat, saya bisa fokus pada satu hal besar: skripsi. Tentu saja, di sini bukan berarti prosesnya jadi lebih mudah. Malah, ada banyak tantangan baru yang datang. Waktu yang lebih fleksibel justru membawa tantangan untuk mengatur diri sendiri. Tidak ada yang lagi mengejar-ngejar kita seperti dulu. Diri sendiri yang harus berperan sebagai pengawas, pendisiplin, dan pengingat agar tetap fokus.


Skripsi dan Perjalanan Emosionalnya

Skripsi. Satu kata yang bisa membuat mahasiswa tingkat akhir spontan menghela napas panjang.

Pada awalnya, saya kira menulis skripsi adalah hal yang mudah. Saya sempat berpikir bahwa prosesnya akan lebih lancar daripada yang dibayangkan. Namun, begitu saya mulai benar-benar masuk ke inti skripsi, saya sadar betapa salahnya asumsi itu. Menulis skripsi bukan hanya soal mengumpulkan data dan menulis laporan. Ada perasaan dan emosi yang terselip dalam tiap paragraf yang ditulis, ada kebimbangan, ada kebanggaan, dan tak jarang juga rasa putus asa.

Di ITB sendiri, tugas akhir dibagi menjadi dua jenis: Tugas Akhir A dan Tugas Akhir B. Di Prodi Teknik Geologi, TA A biasanya menekankan pada pemetaan lapangan yang lebih eksploratif dan mendalam dari sisi akademik, sedangkan TA B lebih terfokus pada pendekatan aplikatif dan terapan. Hal ini yang membuat TA A memiliki jumlah SKS sebesar 5 dan TA B hanya 3. Saya pribadi memilih TA B, karena merasa pendekatan ini lebih cocok dengan topik skripsi saya, yang cenderung aplikatif. Selain itu, TA B memungkinkan saya untuk fokus secara intens pada satu topik utama tanpa perlu terlalu melebar ke arah yang terlalu luas. Buat saya, ini cara yang paling realistis untuk tetap produktif sambil menjaga kewarasan.

Meskipun tantangannya tidak kalah besar, saya merasa lebih nyaman dengan pendekatan ini. Skripsi saya berfokus pada topik yang sangat relevan dengan geologi teknik di Indonesia, dan ini membuat saya merasa lebih terhubung dengan dunia nyata. Tidak hanya sekadar teori di dalam buku, tetapi hal-hal yang bisa langsung diterapkan di lapangan.

Saya mengambil topik mengenai analisis kestabilan lereng tambang. Saya juga berkunjung ke tambang emas secara langsung untuk mengambil data yaitu Tambang Batu Hijau di Sumbawa. Pada kunjungan tersebut, saya mendapatkan kesempatan untuk mengamati langsung kondisi lapangan yang mempengaruhi kestabilan lereng. Batu Hijau, sebagai salah satu tambang emas terbesar di Indonesia, memiliki medan yang cukup menantang bagi saya yang baru pertama kali ke tambang open pit. Data yang saya ambil mencakup berbagai parameter geoteknik, seperti kondisi batuan, rekahan, dan kondisi geologi lokal yang mempengaruhi stabilitas lereng.

Selama observasi, saya juga berbincang dengan para ahli geoteknik di lapangan mengenai penggunaan teknologi terkini dalam memantau kestabilan lereng, seperti sistem pemantauan berbasis radar. Selain itu, penerapan prinsip-prinsip analisis kestabilan lereng, seperti metode analisis limit equilibrium, sangat penting untuk memprediksi potensi longsoran dan mengurangi risiko yang mungkin terjadi. Pengalaman ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tantangan yang dihadapi dalam mempertahankan kestabilan lereng, serta pentingnya data yang akurat dan up-to-date dalam menjaga keselamatan operasional tambang.

Pengalaman mengenai pengambilan data di Tambang Batu Hijau akan saya bagikan di postingan lain!


Pembimbing yang Mendukung: Peran Penting dalam Menyelesaikan Skripsi

Dalam menjalani TA ini, saya merasa sangat beruntung karena didampingi dua pembimbing yang luar biasa di kampus:

Dr. Rendy Dwi Kartiko, S.T., M.T. sebagai pembimbing pertama, dan
Dr. Astyka Pamumpuni, S.T., M.T. sebagai pembimbing kedua.
Kedua pembimbing saya ini bukan hanya ahli di bidangnya, tapi juga sangat suportif dan peduli. 
Mereka selalu mendorong saya untuk terus maju, bahkan saat saya sendiri ragu. Sering kali, saya merasa tertekan dengan deadline dan perkembangan skripsi yang terasa lambat. Namun, keduanya selalu siap membantu, tidak hanya dengan memberikan arahan teknis, tetapi juga dengan memberi semangat. Mereka menyediakan waktu di tengah kesibukannya untuk membaca draft saya, memberikan masukan yang rinci, dan menenangkan saat saya mulai panik dengan tenggat.

Setiap kali selesai bimbingan, saya selalu merasa lebih tenang. Mereka tidak pernah menghakimi, tapi juga tidak membiarkan saya larut dalam keraguan. Saya benar-benar belajar banyak, bukan hanya tentang geologi, tapi juga tentang pentingnya peran pembimbing yang manusiawi dalam proses akhir studi.


Ujian Komprehensif: Saat Semua Ilmu Dipanggil Kembali

Sebelum bisa maju ke tahap akhir, ada ujian penting yang harus dilewati: ujian komprehensif.
Ini adalah ujian tertulis yang menguji pemahaman menyeluruh atas materi yang telah dipelajari selama kuliah. Materinya luas, mulai dari dasar-dasar geologi hingga penerapan lanjutannya. Saya masih ingat betul bagaimana saya harus menyusun ulang berbagai konsep yang saya pelajari selama bertahun-tahun. Rasanya seperti membuka kembali lembaran lama yang telah lama tersimpan di kepala. Namun, saya harus mengingatnya, memahaminya kembali, dan menyatukan semuanya dalam satu ujian.

Yang paling menegangkan adalah nilai minimum yang harus dicapai untuk dapat lanjut ke sidang. Saya merasa semakin tertekan karena ujian ini benar-benar menguji seberapa baik saya telah menyerap semua materi kuliah. Namun, alhamdulillah, setelah belajar keras dan berdiskusi dengan teman-teman, ujian ini akhirnya saya lewati dengan hasil yang memuaskan.


Kolokium dan Sidang: Dua Panggung, Dua Rasa

Setelah menyelesaikan skripsi dan lolos uji komprehensif, tibalah saatnya kolokium pada 30 Mei 2024presentasi skripsi di depan pembimbing, penguji, dan teman-teman. Saya merasa bahwa kolokium adalah ujian mental pertama. Di sini, saya harus mempertanggungjawabkan hasil skripsi di hadapan orang-orang yang telah mengamati saya selama ini. Meski bukan sidang resmi, rasa tegangnya tetap luar biasa. Di sinilah saya pertama kali “menyuarakan” hasil kerja keras saya. Setelah menyampaikan, saya menunggu dengan cemas tanggapan dan kritik dari penguji. Teman-teman yang hadir juga dipersilakan untuk bertanya ataupun sekedar memberikan saran.

Begitu semua berjalan lancar dan saya mendapatkan feedback yang konstruktif, rasa lega datang. Meski ada beberapa revisi, saya merasa semakin dekat dengan tujuan.

Setelah kolokium dinyatakan lolos, maka bisa lanjut ke tahap terakhir: sidang akhir. Namun, kami masih perlu merevisi hasil skripsi berdasarkan evaluasi pada kolokium serta mengumpulkan semua syarat sidang.

Sidang akhir adalah momen yang paling ditunggu-tunggu, tetapi juga paling menegangkan. Rasanya seperti berada di tengah panggung besar, di mana saya harus menunjukkan segalanya yang telah saya kerjakan. Sidang bukan hanya tempat menguji isi skripsi, tetapi juga cara kita berpikir, menjelaskan, dan meyakinkan. Di sini, saya merasa benar-benar diuji bukan hanya sebagai mahasiswa, tetapi juga sebagai pribadi yang siap menghadapi dunia luar.

Saya mendapatkan jadwal sidang tanggal 27 Juli 2024 jam 13.00. Saat itu, hadir kedua pembimbing saya beserta 2 penguji dan 1 orang ketua sidang. Saya benar-benar gugup hingga saya lupa teks yang sebelumnya sudah saya persiapkan, sehingga apa yang saya bicarakan saat itu adalah materi yang memang ada di kepala saya. Tibalah saatnya para dosen bertanya dan memberikan sarannya. Saya beberapa kali tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan dengan baik sehingga saya merasa sedikit tertekan. Di akhir sidang, saya dipersilakan keluar ruangan untuk menunggu para dosen berdiskusi mengenai nilai akhir saya. Saat di luar ruangan, teman-teman sudah menunggu saya dengan berbagai buket bunga. Tangis saya saat itu pecah karena akhirnya sidang ini akan selesai meskipun bercampur dengan rasa menyesal, malu, dan tertekan akibat pertanyaan para dosen. Ketika selesai berdiskusi, saya diminta masuk kembali untuk diumumkan nilai yang saya dapat. 

Alhamdulillah saya lulus dengan nilai A!

Senangnya bukan main, hingga pada saat disuruh menyampaikan closing statement, air mata saya menetes kembali, terharu, hingga terasa lemas untuk berbicara. Momen ini tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Dan ya, sidang ini diakhiri dengan sesi foto bersama. 


Refleksi Diri: Dari Mahasiswa Gugup Menjadi Pribadi yang Lebih Siap

Empat tahun lalu, saya masuk sebagai anak yang belum tahu apa-apa. Kini, saya keluar sebagai seseorang yang lebih tenang, lebih mengerti ritme hidup, dan lebih bisa berdamai dengan ketidakpastian. Saya sudah melewati banyak rintangan, baik akademik maupun personal. Saya belajar bahwa tidak semuanya bisa direncanakan, tidak semua masalah ada solusinya dengan cepat, dan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses.

Tahun terakhir ini bukan cuma tentang tugas akhir. Tapi juga tentang menyelesaikan inner journey yang saya mulai sejak awal kuliah. Saya belajar menerima bahwa tidak semua bisa saya kuasai, tidak semua berjalan sesuai rencana. Namun, saya juga belajar bahwa semua bisa diselesaikan kalau terus dilangkahi, satu demi satu.


Toga: Titik Akhir yang Justru Awal

Toga yang akan saya kenakan nanti bukan sekadar simbol kelulusan. Ia adalah simbol keberanian, ketekunan, dan ketulusan. Toga ini bukan hanya tentang akademik, tetapi juga tentang perjalanan hidup yang telah saya jalani, tentang saya yang pernah jatuh dan bangkit kembali, yang belajar tentang diri sendiri, dan yang menemukan kekuatan di dalam ketidakpastian.

Terima kasih, ITB. Terima kasih, Teknik Geologi.
Terima kasih untuk semua peluh, tawa, tangis, dan kenangan yang tidak akan pernah saya lupakan.
Dan yang paling penting, terima kasih untuk diri saya sendiri. Karena tidak menyerah, meski sempat lelah.

Akhir kata, perjalanan ini bukanlah akhir dari segalanya. Ini hanya sebuah titik awal menuju petualangan baru dalam hidup saya. Saya siap melangkah ke dunia kerja, dengan semua pembelajaran dan pengalaman yang saya dapatkan selama berkuliah. Terima kasih untuk semua yang telah mendukung saya. Saya sangat bersyukur telah melalui perjalanan ini, dan saya menantikan langkah-langkah berikutnya yang akan saya ambil dalam hidup saya.